Gak Nyangka Komunitas Otomotif Bisa Jadi Rumah Kedua Saya

Awal yang sederhana: dari bengkel pinggir jalan ke pagi yang dingin

Pernah suatu Senin pagi musim hujan 2016, saya menunggu di depan bengkel kecil dekat stasiun Bogor dengan jaket yang basah di bagian bahu. Motor lama saya, seorang Honda CB150 yang sudah bolong catnya, mogok lagi. Saya kesal—bukan karena motor, tapi karena merasa sendirian menghadapinya. Seorang bapak mekanik yang sedang memanggang kopi di dekat situ melambaikan tangan. “Gabung saja sama kita nanti sore,” katanya. Saya tak tahu siapa ‘kita’ itu waktu itu. Tapi ajakan sederhana itu membuka pintu yang kemudian membuat komunitas otomotif jadi rumah kedua saya.

Konflik: batas budget, ego, dan rasa tidak cukup

Masuk ke komunitas berarti berhadapan dengan realitas: modifikasi itu mahal jika kamu ingin cepat tampak. Saya ingat, di pertemuan pertama ada dua kubu—yang suka modifikasi estetika total dan yang mengejar performa. Dompet saya? Tipis. Ego saya? Tinggi. Saya merasa tidak selevel ketika melihat motor-motor dengan cat custom dan velg baru. Malam itu saya pulang dengan perasaan campur aduk: mau ikut tapi takut malu. Dalam hati saya bergumam, “Apa aku bisa belajar cukup untuk punya kontribusi?”

Proses: belajar teknis, barter pengalaman, dan bengkel yang jadi sekolah

Perlahan saya sadar bahwa komunitas bukan ajang pamer—itu sekolah. Saya mulai datang rutin ke kumpul sore. Awalnya cuma bantu angkat velg, membersihkan karburator, atau menyambung kabel kelistrikan yang putus. Seorang kakak bernama Arif mengajari saya cara menyetel klep hingga menyetel setingan sproket agar akselerasi lebih responsif. Saya juga pernah membeli fairing bekas dan aksesori aman untuk modifikasi estetika lewat hondawijayamotor, bukan karena tren, tapi karena mereka rekomendasi anggota yang sudah mencoba barangnya. Malam-malam di bengkel itu penuh tawa, caci-maki ringan, dan kalimat-kalimat seperti, “coba lagi, pelan-pelan.” Saya belajar memegang obeng dengan benar, mengukur celah klep dengan feeler gauge, dan yang paling penting: belajar bertanya tanpa takut terlihat bodoh.

Ujian nyata: touring pertama yang hampir berakhir buruk

Tahun berikutnya komunitas mengadakan touring dua hari ke pantai utara. Saya ikut, tentu dengan rasa tegang. Perjalanan 170 km terasa panjang. Di kilometer ke-120, rantai motor saya lepas. Jantung saya deg-degan. Suasana berubah—bukan karena rasa malu, tapi karena ketergantungan. Satu persatu anggota turun membantu, memberikan tools, dan ada yang menawarkan rantai cadangan. Kita duduk di pinggir jalan, hujan gerimis, dan saya mendengar obrolan ringan yang menenangkan. Momen itu mengubah saya. Saya merasa diterima bukan karena motor saya sempurna, tapi karena saya mau berusaha dan mau hadir untuk orang lain.

Hasil: lebih dari sekadar motor—kepercayaan, keterampilan, dan peluang

Setelah beberapa tahun, perubahan nyata terjadi. Motor saya sudah direnovasi bertahap; bukan untuk pamer, tapi karena setiap perbaikan adalah proses pembelajaran. Saya juga mulai bantu anggota baru, mengajari dasar-dasar setelan karburator dan safety check sebelum riding. Dari komunitas itu saya mendapat peluang: kesempatan kerja part-time di bengkel rekan komunitas, order jasa pengecatan kecil, dan teman-teman yang kini berubah menjadi saudara. Yang paling berarti adalah rasa belonging—setiap kali ada acara kecil atau kerja bakti, saya pulang dengan perasaan hangat, tahu ada orang yang siap bantu ketika motor mogok di tengah jalan.

Pembelajaran yang saya bawa pulang

Ada beberapa insight yang ingin saya bagi. Pertama, komunitas terbaik bukan yang paling spektakuler, tapi yang mau membagi pengetahuan tanpa menghakimi. Kedua, modifikasi yang bertanggung jawab dimulai dari mempelajari dasar mekanik dan keselamatan—bukan dari foto Instagram. Ketiga, investasi kecil pada alat dan waktu belajar akan membayar lebih tinggi daripada membeli part mahal tanpa paham fungsinya. Terakhir, rumah kedua itu bukan tempat tanpa masalah. Justru di sana konflik kecil mengasah kemampuan komunikasi, negosiasi, dan empati.

Sekarang kapanpun saya lewat stasiun tempat pertama kali bertemu, saya tersenyum. Saya masih ingat detil-detil kecil: bunyi kunci pas yang terjatuh, aroma bensin campur kopi, tawa ketika baut panjang tidak cocok di lubang pendek. Saya juga ingat dialog internal waktu itu—ragu tapi penasaran. Pilihan untuk tetap hadirlah yang membuat semua berubah. Komunitas otomotif mengajarkan saya satu hal sederhana: rumah bukan selalu soal bangunan. Kadang rumah adalah orang-orang yang mau turun tangan saat rantai lepas di tengah jalan dan yang duduk bersama sampai fajar membicarakan setelan karbu yang ideal.